Search Engine

Jumat, 19 Maret 2010

Ganyang Mafia Hukum (2)

Hari ini Tim 8 bertemu dengan presiden SBY untuk menyerahkan rekomendasi akhir atas kemelut kasus Bibit-Chandra. Sebelumnya SBY juga telah mencanangkan pemberantasan mafia hukum dalam program 100 harinya sebagai prioritas pertama. Sejauh ini belum ada belum ada langkah konkrit atas program tersebut selain membuka PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan kode GM yang dapat digunakan oleh mereka yang menjadi korban “mafia hukum“. Pertanyaannya adalah cukupkah usaha SBY membuka kotak pos tersebut di tengah harapan masyarakat agar SBY membuat gegrakan-gebrakan konkrit untuk memberantas mafia hukum?

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, penulis menyinggung perlunya SBY bertindak tegas, cepat dan tepat untuk menyelesaikan kemelut Bibit-Chandra dan perlunya memanfaatkan momen ini untuk bisa memberantas mafia hukum. Namun sampai saat ini, SBY masih tetap ragu membuat manuver-manuver konkrit. Apakah SBY takut melanggar hukum jika menerapkan hukum progresif dan “sedikit“ menyimpang dari hukum positif yang berlaku?

Dalam uraian pertimbangan UU 30/2002 tentang KPK dijelaskan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK) sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan TPK perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Sayang lembaga pemerintah (kepolisian dan kejaksaan) yg menangani perkara TPK belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas TPK. Bahkan dalam kasus ABC (Antasari-Bibit-Chandra) Polri dan Kejaksaan Agung dianggap merekayasa untuk melumpuhkan manuver KPK yang banyak diapresiasi publik.

TPK meningkat secara kuantitas dan kualitas (semakin sistematis dan canggih modus operandinya). TPK bukan lagi kejahatan biasa tetapi sudah menjadi kejahatan luar biasa. Hal ini ditegaskan oleh PBB dalam konvensi menentang korupsi (UNCAC) pada tanggal 9 Des 2003 di Merida Meksiko, yang menjadikan korupsi sebagai “extra ordinary crime“. Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 pada tanggal 21 Maret 2006 dan sebulan kemudian lahir UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC. Penegakan hukum utk memberantas TPK secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan.Oleh karena itu upaya pemberantasannya tidak lagi dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yg luar biasa. Hal ini juga dijelaskan dalam UU 31/99 jo UU 20/2001 tentang TPK. Jadi karena alasan inilah KPK dibentuk agar mampu menggunakan cara-cara luar biasa dalam pemberantasan korupsi.

Beberapa ahli hukum mendefinisikan cara-cara luar biasa dalam pemberantasan korupsi adalah sbb:
1. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo

satjipto

Dekan Fakultas Hukum Undip, Penasihat Ahli Kapolri, Guru Besar Tamu di Departemen of Law Hiroshima University (Dikutip dari artikel di Kompas, 15 Oktober 2005 dengan judul,”Hidup Tak Boleh Dipenjara Undang-Undang”)

Saya melihat ada yang salah dalam cara kita berhukum, yaitu hukum adalah urusan perundang-undangan dan “bisnis” peraturan. Menjalankan hukum itu pasrah bongkokan pada peraturan atau pasal undang-undang itu keliru. Kita harus mengubah dasar pemikiran, paradigma, hukum itu untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Penegakan hukum harus progresif dalam arti pembebasan dari dominasi perundang-undangan (bukan berarti chaos/kekacauan) tetapi kepentingan manusia secara luas harus diutamakan. KPK masuk ke MA (penggeledahan) merupakan upaya pembebasan (progresif) tersebut. Apa yang dilakukan KPK, sekalipun misalnya dengan menjebak, termasuk langkah penegakan hukum yang progresif.

2. Prof. Dr. ROMLI ATMASASMITA, S.H.,LL.M.
romli
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad/Ketua Forum 2004 (Dikutip dari www.forum2004.portalhukum.com judul artikel:”Perlindungan Saksi dalam Perkara Korupsi”)

Perubahan makna dan implikasi perbuatan suap sebagai mata rantai dari korupsi menyebabkan pemberian sanksi terhadap pemberi dan penerima suap tidak lagi seharusnya ditafsirkan secara kaku akan tetapi harus ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas yaitu bagaimana memenangkan perang terhadap korupsi saat ini. Jika strategi ini akan tetap dipertahankan maka perlu ada perubahan taktik dalam menghadapi pelaku korupsi dan potensial koruptor sehingga tidak ada satupun koruptor yang lolos dari penuntutan. Perubahan taktik dalam strategi memenangkan perang terhadap korupsi ini antara lain, memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku suap (penerima atau pemberi) yang pertama melaporkan kepada penegak hukum termasuk KPK tentang terjadinya penyuapan dengan tujuan yang lebih besar yaitu mengungkapkan jaringan korupsi yang sudah sistematik dan meluas.
Kita tidak bisa lagi selalu berpikir legalistik dengan paradigma yang berkembang pada abad 17 dan abad 18, melainkan kita harus terus berpikir dinamis dan maju dalam menyusun strategi untuk memenangkan pemberantasan korupsi dengan selalu mengikuti perkembangan modus operandi dan karakter mafia korupsi di tanah air; yang menurut pengamatan sudah berhasil melembagakan
Strategi dan taktik pemberantasan suap dan korupsi di Indonesia yang sudah dilaksanakan oleh KPK dalam kasus Mulyana W. Kusumah adalah merupakan cara yang tepat untuk memenangkan perang terhadap mega korupsi yang telah melanda bangsa ini; dan penulis harapkan KPK harus tetap konsisten menjalankan strategi dan taktik ini sesuai dengan prosedur yang diatur dalam perundang-undangan. Tidak ada yang salah dan melanggar hukum dalam strategi dan taktik tersebut, begitu pula tidak ada pelanggaran hak asasi tersangka dalam strategi dan taktik tersebut karena semua itu sudah diatur dalam perundang-undangan yang membolehkan penggunaan metoda penafsiran yang diperluas (extended interpretation) sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Belanda, dan kemudian dianut di Indonesia, yaitu menafsirkan arus listrik sebagai suatu barang yang dapat dicuri. Pendekatan aliran “pragmatic legal realism” tampaknya lebih tepat dan relevan untuk menganalisis perkembangan mega korupsi di Indonesia, daripada hanya terpaku kepada pendekatan “legal positivism” semata-mata.
3. Dr Denny Indrayana SH
Photobucket
Anggota Dewan Etik Indonesian Court Monitoring; Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Dikutip dari Kompas, 23 April 2005)

Korupsi adalah kasus amat terencana, rapi, dan sistematis dan sering dilakukan oleh orang-orang terpelajar. Menghadapi kejahatan terencana oleh orang-orang terpelajar dan berkuasa demikian, proses investigasinya haruslah progresif. Penjebakan adalah salah satu bentuk progresivitas itu.

Berdasarkan uraian di atas, sudah seharusnya SBY tidak ragu-ragu dalam melakukan langkah-langkah konkrit dan progresif dalam memberantas mafia hukum, apalagi setelah menerima rekomendasi dari Tim 8. Sifat defensif yang diperlihatkan kepolisian dan kejaksaan perlu “diintervensi“ secara proporsional. Jika rekomendasi SBY diendapkan begitu saja, maka publik akan semakin menurun kepercayaannya kepada SBY untuk memberantasan korupsi dan mafia hukum. Pak Presiden, kami sungguh mengharap langkah-langkah tegasmu.

Link

Tidak ada komentar:

Posting Komentar