Search Engine

Jumat, 25 Juni 2010

Memperdagangkan Opini Audit

Pada minggu ini ada peristiwa penting yang tenggelam oleh kasus video mesum mirip Ariel-Luna-Cut Tari. Peristiwa tersebut adalah tertangkapnya auditor BPK Perwakilan Jawa Barat yang sedang menerima ”suap” sebesar Rp 200 juta dari oknum pejabat pemerintah kota Bekasi. Suap tersebut diduga terkait permintaan oknum pejabat pemerintah kota Bekasi agar laporan keuangannya yang sedang diaudit Tim BPK mendapat opini wajar tanpa syarat atau wajar tanpa pengecualian (WTP).

Ada tiga macam opini atas laporan keuangan suatu instansi pemerintah atau perusahaan. Opini yang paling baik adalah WTP(Unqualified Opinion). Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Sedangkan opini paling jelek adalah Tidak Wajar (Adverse Opinion), yaitu auditor meyakini bahwa laporan keuangan yang sedang diauditnya banyak mengandung kesalahan yang material. Dengan kata lain, laporan keuangan tersebut tidak menggambarkan kondisi keuangan yang sebenarnya. Di samping ketiga opini tersebut, auditor kadang juga “Tidak Memberikan Pendapat” (Disclaimer Opinion). Hal ini disebabkan karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa memberikan opini apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau salah.

Dugaan suap untuk mendapatkan opini WTP di atas menimbulkan spekulasi bermacam-macam terkait kewajaran laporan keuangan perusahaan atau suatu instansi pemerintah. Penyakit kronis yang bernama korupsi di instansi pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Oleh karena itu publik sering kurang percaya jika suatu instansi pemerintah mempunyai laporan keuangan yang baik (WTP). Tertangkapnya auditor BPK tersebut menggambarkan adanya negosiasi atau perdagangan opini audit atas laporan keuangan.

Pengelolaan keuangan negara/daerah lewat APBN/APBD diduga banyak digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan tujuannya. Tidak heran jika muncul dugaan adanya kebocoran 30% dari total dana yang ada di APBN/APBD. Sejauh ini, tidak ada satu pihak pun yang membantahnya, meskipun secara yuridis, kebocoran 30% dana APBN/APBD tersebut sulit dibuktikan, namun publik bisa merasakannya. Anehnya kondisi pengelolaan APBN/APBD di instansi pemerintah yang terkenal kacau-balau tersebut (banyak kebocorannya), tidak sedikit diantara instansi pemerintah tersebut yang laporan keuangannya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Wajar jika publik mencurigai adanya permainan dibalik opini WTP tersebut Oleh karena itu, tertangkapnya auditor BPK yang sedang melakukan negosiasi terkait opini laporan keuangan pemerintah kota Bekasi, seolah membenarkan kecurigaan publik tersebut. Bagaimana dengan di perusahaan swasta?

Berbagai kasus yang terjadi di dunia maupun di Indonesia menunjukkan bahwa perusahaan swasta juga sering melakukan manipulasi pada laporan keuangannya. Publik mungkin juga belum lupa bahwa Enron Energy (perusahaan terbesar ketujuh di AS), WorldCom, Xerox, AOL (America Online), dan Vivendi Universal (pemilik Universal Studio) terbukti telah memanipulasi laporan keuangannya. Repotnya, manipulasi laporan keuangan tersebut dibantu oleh kantor akuntan publik nomor satu di dunia (masuk jajaran “The Big Five”), yaitu Arthur Andersen KPMG dan PriceWaterhouseCoopers. Kasus Gayus secara tidak langsung juga menyiratkan adanya amanipulasi laporan keuangan perusahaan-perusahan besar di Indonesia milik Aburizal Bakrie seperti PT Bumi Resources, PT KPC, dan Arutmin (dugaan manipulasi laporan keuangan agar bisa membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya). Publik juga belum lupa bagaimana Vincentius Amin Sutanto, mantan controller di Asian Agri Grup (perusahaan mantan orang terkaya di Indonesia) mengakui telah merekayasa laporan keuangan perusahaannya sehingga menimbulkan kurang bayar pajak lebih kurang Rp 1,3 triliun.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa suatu perusahaan biasanya membuat 3 versi laporan keuangan. Pertama adalah laporan keuangan riil yang menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya (aset, hutang, modal, pendapatan, laba, biaya, dst disajikan sesuai kenyataan). Laporan versi pertama ini dipergunakan manajemen untuk evaluasi internal dan alat untuk perencanaan bisnis ke depan. Kedua adalah laporan keuangan untuk konsumsi perpajakan. Untuk itu, biasanya terdapat banyak manipulasi atas laporan keuangan tersebut yang bahasa kerennya disebut ”window dressing”, misalnya dengan merendahkan pendapatan dan/atau meninggikan biaya sehingga laba yang diperoleh lebih kecil dari seharusnya. Dengan demikian pajak yang harus dibayar kepada pemerintah menjadi lebih kecil. Ketiga, laporan keuangan dibuat untuk konsumsi perbankan dalam rangka mendapatkan kredit. Di sini biasanya pendapatan ditinggikan dan biaya direndahkan agar laba terlihat tinggi serta aset (harta) dinaikkan. Dengan demikian diharapkan perusahaan mendapatkan kredit yang sebesar-besarnya untuk modal perusahaan.

Manipulasi (fraud) atas laporan keuangan di atas, tidak mudah ditemukan oleh auditor, apalagi jika jenis auditnya bukan audit khusus (audit investigatif). Bahkan seperti digambarkan di atas, auditor berperan dalam merekayasa laporan keuangan tersebut baik secara langsung (berperan sebagai konsultan keuangan dan menjadi pelaku manipulasi laporan keuangan tersebut) atau secara tidak langsung dengan cara membiarkan manipulasi tersebut (dengan imbalan uang) atau bahkan ”membisniskan” temuan (memperdagangkan temuan auditnya). Hal ini merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebuah kejahatan yang melibatkan orang-orang pintar, namun bermoral rendah. Sangat sulit pembuktian adanya kejahatan kerah putih. Oleh karena itu penangkapan auditor BPK oleh KPK hari senin yang lalu atau penyidikan kasus Gayus harus dilakukan secara terus-menerus agar kejahatan kerah putih khususnya perdagangan opini audit seperti digambarkan di atas dapat dikurangi semaksimal mungkin.


Selengkapnya...

Layakkah Jimly Assiddiqie menjadi ketua KPK?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam jupa pers di Istana Cipanas, Jum’at (18/6) menyatakan,“Kalau Pak Jimly ingin maju sebagai calon ketua KPK, tentu dalam hal ini, di mata saya, memenuhi syarat dan saya kabulkan.” Pada kesempatan itu, SBY juga menyarakan agar Jimly mengundurkan diri sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk menghindari dikait-kaitkannya Jimly, jika terpilih sebagai ketua KPK, dengan presiden yang dianggap menjadi sponsor. (Kompas, 19/6 hal. 2).

Pernyataan SBY di atas bisa diartikan sebagai dukungan tidak langsung kepada Jimly Assidhiqie untuk menduduki jabatan ketua KPK. Pertanyaannya adalah layakkah Jimly Assiddiqie menjadi ketua KPK?

Dalam tulisan saya sebelumnya yang mempertanyakan kelayakan OC Kaligis menduduki ketua KPK, setidaknya terdapat 2 persyaratan untuk menduduki jabatan sebagai ketua KPK. Pertama adalah persyaratan sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UU 30/2002 tentang KPK yang meliputi pembatasan umur, integritas, kapabilitas, dan seterusnya. Dalam konteks ini, Jimly tampaknya bisa lolos dengan mudah (beda dengan OC Kaligis yang terbentur masalah usia dan ”intergritas”). Namun demikian perlu dicatat bahwa nama (anak) Jimly sempat masuk dalam daftar penerima Dana Abadi Umat sebagaimana tertuang dalam dakwaan di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili mantan menteri agama Said Agil Siraj. Begitu juga dengan kapabilitasnya sebagai dosen/pakar hukum tata negara dianggap kurang sesuai dengan KPK yang membutuhkan ”pakar” hukum pidana. Satu lagi catatan penting adalah ketidakkonsistenan Jimly terkait “desakan” masyarakat agar dirinya melamar menjadi ketua KPK.

Jimly menyatakan,”Saya bersedia asal tidak ngelamar, karena tidak etis baru diangkat jadi wantimpres kok mau mencari pekerjaan di tempat lain.” Sejarah mencatat bahwa pada akhirnya Jimly datang ke kantor Depkumham untuk melamar sebagai ketua KPK. Berikut pernyataannya ketika mendaftar,”"Menurut saya tidak baik bagi saya kalau kurang bertanggung jawab. Begitu banyak harapan dari masyarakat lalu kenapa saya tidak mendaftarkan diri. Insya Allah saya dapat mengambil tanggung jawab itu.”

Pembahasan berikutnya terkait ”persyaratan” kedua, yaitu terkait filosofi atau latarbelakang terbentuknya KPK menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan, apakah Jimly Assiddiqie layak untuk memimpin KPK.

Sejarah berdirinya KPK adalah akibat semakin maraknya korupsi baik secara jumlah (kuantitas) maupun kecanggihan modus operandinya (kualitas) disertai rendahnya kepercayaan publik pada kinerja kejaksaan dan kepolisian dalam memberantas korupsi. Dalam penjelasan UU 30/2002 tentang KPK dijelaskan bahwa korupsi sudah merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan lembaga baru yang mampu memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa. Definisi korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak perlu diperdebatkan lagi. Oleh karena itu menjadi menarik untuk membahas apa yang dimaksud dengan memberantas korupsi dengan cara-cara luar biasa.

Mendiang Prof. Satjipto Sahardjo, dekan fakultas hukum Universitas Diponegoro Semarang, melontarkan istilah hukum progresif untuk mengatasi kemandekan penegakan hukum di Indonesia. Pak Tjip, panggilan akrab Prof. Satjipto almarhum, menyatakan bahwa penegakan hukum harus progresif dalam arti pembebasan dari dominasi perundang-undangan (bukan berarti chaos/kekacauan) tetapi kepentingan manusia secara luas harus diutamakan. KPK masuk ke MA (penggeledahan) merupakan upaya pembebasan (progresif) tsb.

Apa yang dilakukan KPK, sekalipun misalnya dengan menjebak, termasuk langkah penegakan hukum yang progresif. Inilah yang mungkin dimaksud dengan definisi pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, yaitu Undang-Undang digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukannya Undang-Undang yang menyandera masyarakat.
”Penjebakan” diharamkan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Penyuap dan penerima suap sama-sama dipidana menurut UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun KPK berani mendobrak wilayah ”haram” tersebut dengan melindungi Khairiansyah Salman yang menerima suap dari Mulyana W. Kusumah atau Probosutedjo yang memberikan suap kepada oknum di Mahkamah Agung. Dari kacamata peraturan perundang-undangan, hanya Jaksa Agung yang mempunyai hak untuk mengabaikan pemidanaan seseorang demi kepentingan umum (deponering/seponering). Di saat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada tahun 2005 mewacanakan penggunaan kewenangan tersebut, KPK berani menggunakan kewenangan tersebut demi kepetingan masyarakat luas yang sudah muak dengan perilaku korup para pejabat negara.

Sejarah juga mencatat betapa KPK berani mengadili anggota dewan yang selama ini dianggap kebal hukum, mengobrak-abrik Bank Indonesia yang selama ini dikenal tidak tersentuh hukum, bahkan berani menyentuh ”keluarga” istana. Sejauh ini KPK tidak pernah kalah di pengadilan tipikor. KPK menjadi lembaga yang ditakuti koruptor. Kunci itu semua adalah keberanian pimpinan KPK melakukan manuver dan keberanian menolak intervensi dari berbagai pihak.

Berdasarkan uraian di atas, ”syarat” tambahan seorang ketua KPK adalah berani melakukan pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, yaitu secara independen (bebas intervensi pihak lain) untuk menerapkan hukum progresif. Apakah Prof. Jimly memenuhi ”syarat” ini?

Keberhasilan Jimly membangun Mahkamah Konstitusi menjadi pengadilan modern dan disegani merupakan nilai plus sendiri. Namun demikian Jimly tercatat pernah menolak ”wacana” Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi. Bahkan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Jimly memangkas kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim. Keputusan Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Jimly lain yang sangat mengguncang adalah tentang pencabutan Pasal 53 UU KPK tentang keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Penghapusan pengadilan tipikor menjadi polemik berkepanjangan dan ada yang menganggap sebagai titik balik pemberantasan korupsi.

Jadi berdasarkan kedua putusan di atas saja, terlihat Jimly bukanlah seorang yang setuju dengan penerapan hukum progresif. Baginya hukum adalah apa yang tertulis di Undang-Undang dan manusia harus mentaatinya, tidak perduli apa itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang merindukan hakim yang bersih dan kepercayaan kepada pengadilan tipikor yang tidak pernah memvonis bebas koruptor. Apalagi Jimly dalam pernyataannya tersirat keinginannya untuk membenahi sistem birokrasi (tugas pencegahan KPK). Dengan demikian di era Jimly, jika terpilih sebagai ketua KPK, tidak akan banyak gebrakan-gebrakan KPK (upaya penindakan dengan menangkap koruptor-koruptor besar) yang diharapkan masyarakat. Pembenahan sistem untuk mencegah terjadinya korupsi memang penting, namun hal tersebut harus diimbangi dengan upaya penindakan yang luar biasa. Tanpa upaya-upaya pemberantasan korupsi yang luar biasa (progresif), KPK tidak ada bedanya dengan Kejaksaan Agung dan kepolisian R.I. Wallahu’alam Bish-shawabi.


Selengkapnya...

Layakkah OC Kaligis Menjadi Pimpinan KPK?

Pendaftaran calon ketua KPK sudah dibuka pada 24 Mei 2010 yang lalu. Sudah sekitar 63 orang yang mendaftar sampoai hari kamis (27/5) kemarin. Latar belakang profesi mereka bermacam-macam, mulai dari sosok “intel”, “presiden” Negara Islam Indonesia, LSM, bankir, pensiunan jenderal, hingga sosok advocat yang pernah membela koruptor. Diantara mereka, salah satu sosok yang menonjol adalah sosok O.C. Kaligis. Advokat senior yang pernah membela beberapa klien yang menjadi “klien” KPK, diantaranya adalah Abdullah Puteh (eks Gubernur Aceh), Agus Supriadi (eks Bupati Garut), Arthalita Suryani alias Ayin, dan terakhir kasus Anggodo Wijoyo.

Prof. Dr. (Jur) Otto Cornelis Kaligis, SH., MH adalah identitas lengkap seorang O.C. Kaligis (OCK). OCK sudah malang melintang di dunia advokasi sejak tahun 1966. Dengan jam terbang 44 tahun sebagai advokat, OCK banyak menangani beragam kasus hukum, sehingga yang bersangkutan dijuluki “Manusia Sejuta Perkara”. Kliennya pun beraneka ragam mulai dari si Miskin dan si Lemah seperti ketika membela Sudarto, residivis yang ditembak aparat polisi yang dibelanya tanpa bayaran. Atau juga ketika OCK membela David-Kemat yang dituduh sebagai pembunuh dan kasus Prita Mulya Sari. OCK juga sering membela manusia top seperti konglomerat Samadikun Hartono, Djoko S Tjandra sampai mantan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie. Kemampuannya dalam “ilmu marketing” dan “ilmu komunikasi” serta kemampuannya mendekati media massa membuat namanya semakin dikenal publik.

Tak salah kiranya banyak pihak yang berurusan dengan hukum, meminta OCK menjadi advokatnya. Seorang konglomerat yang sedang terlilit masalah hukum, sempat penulis tanya, kenapa yang bersangkutan memilih OCK sebagai pengacaranya. Dengan ringan sang konglomerat menjawab bahwa semuanya atas saran mantan petinggi negara ini. Rekomendasi mantan orang besar di negara ini jelas bukanlah rekomendasi sembarangan. Artinya OCK telah diakui kepiawaiannya menangani berbagai kasus hukum.

OCK yang dilahirkan di Makassar pada 19 Juni 1942, merupakan lulusan Faculty of Philosophy, University of Rheinish Westfalische Technische Hochschule at Aachen, Germany ini. Gelar Doktor di bidang Ilmu Hukum diprolehnya dari Universitas Padjajaran tahun 2006. Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Universitas Negeri Manado sejak 1 Agustus 2008, dalam bidang ilmu hukum pidana, hukum acara, praktik pembuatan kontrak, dan praktik pembuatan akte. Pria yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Latin di samping bahasa Indonesia, bahasa Bugis, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa ini telah membukukan setidaknya 60 judul buku.

OCK dikenal bertangan dingin dalam menangani suatu perkara hukum. Sebagian besar kliennya puas dengan kinerjanya. Bahkan banyak tersangka yang bebas dari jerat hukum seperti Ali Mazi, SH (Gubernur Sultra dalam perkara korupsi perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton), Nurdin Halid (kasus korupsi distribusi minyak goreng), ECW Neloe (Dirut Bank Mandiri dalam kasus korupsi Bank Mandiri), Prof. dr. Ida Bagus Oka (mantan Gubernur Bali yang tersangkut kasus dugaan korupsi di Yayasan Bali Dwipa), Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto (kasus dengan PT Goro Batara Sakti), Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern dalam kasus penyelewengan BLBI), sampai HM Soeharto (mantan presiden dalam berbagai kasus seperti kasus yayasan supersemar).

Kegemilangan prestasi OCK membentur “tembok tebal” ketika berhadapan dengan KPK. Klien OCK seperti Abdullah Puteh, Agus Supriadi, dan Ayin gagal “diselamatkan” OCK. Meskipun seluruh kemampuan dan keahliannya telah dikerahkan, Hakim Pengadilan Tipikor tetap menghukum mereka bertiga. Kelihaian OCK sebagai pengacara, misalnya dalam membela eks Gubernur Aceh Abdullah Puteh, dapat kita nikmati dalam bukunya yang berjudul Kumpulan Kasus Menarik jilid I. OCK juga membela mati-matian Ayin dalam perkara penyuapan kepada Jaksa Tri Urip Gunawan. Rekaman suara pembicaraan Ayin dan Urip yang begitu gamblang, diragukan keabsahannya oleh OCK. Bahkan sempat terdengar skenario pinjaman untuk usaha perbengkelan terkait pemberian uang US$ 600 ribu dari Ayin kepada Urip. Dalam persidangan memang tidak terungkap siapa aktor di balik skenario tersebut, meskipun menurut Ayin skenario tersebut sudah dikonsultasikan. Nah, dikonsultasikan kepada siapakah skenario pinjaman untuk usaha perbengkelan tersebut? Menanggapi hal tersebut OCK mengatakan, “Saya sendiri nggak tahu itu sebab tidak ada dalam berkasnya.” Sekarang OCK dalam posisi sebagai pengacara Anggodo Wijoyo dalam kasus percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK yang rekaman pembicaraan Anggodo dengan berbagai pihak sempat menghebohkan ketika diputar di gedung MK dan saat ini menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor dalam kasus percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK.

Dengan latarbelakang pendidikan dan pengalamannya dalam bidang litigasi tersebut, salah satu persyaratan calon ketua KPK tentang kapabilitas, yaitu lulusan sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman minimum 15 tahun tentu saja dapat dengan mudah dipenuhi oleh OCK. Hard Competence atau Hard Skill yang dipunyai OCK jauh melampaui persyaratan minimal seorang calon pimpinan KPK. Bagaimana dengan persyaratan lainnya?

Pasal 29 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan kriteria untuk calon pimpinan KPK, yaitu WNI, bertakwa, sehat jasmani dan rohani, lulusan sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman minimum 15 tahun, berusia minimum 40 tahun dan maksimum 65 tahun, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi.

Tembok besar yang dihadapi OCK ketika mendaftarkan dirinya menjadi calon pimpinan KPK adalah usia. Saat ini, OCK telah berusia 68 tahun atau telah lewat 3 tahun dari batas maksimal usia calon pimpinan KPK. Menyikapi hal ini, OCK berencana mengajukan uji materi (Judicial Review) atas pasal 29 UU 30 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi. “Kalau mengenai umur akan saya ajukan (judicial reviews), kalau misalkan saya (dipermasalahkan/ red) berusia 65. Tapi, itu hak asasi saya. Saya akan mengajukan ke MK nanti. Itu urusan kecil. Kalau usia yang penting hak perdata saya, saya punya hak asasi selama otak saya masih sehat,” ujar OC Kaligis (sumber).

Menarik untuk mencermati kegigihan OCK untuk melawan rintangan ini. Padahal dalam suatu kesempatan OCK menyatakan akan mundur sebagai advokat kala usianya sudah 60 tahun. “Ya, setelah ini saya sadar apa yang disebut sebagai usia senja. Ambisi lain saya adalah lebih mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. ltu saja. Dalam usia 60 tahun kita musti membuat satu persiapan bahwa suatu waktu, mati itu tidak bisa dielakkan. Sebagai orang yang percaya, pada saat itu kita musti bilang kepada Pencipta kita, “Tuhan, saya sudah siap. Saya memohon ampun atas segala dosa saya dan saya sudah siap menghadapi segala-galanya, menghadapi Engkau. ltu saja” (sumber) Nah, konteks peryataan OCK dalam hal ini bisa saja dimaknai bahwa keinginannya mendaftar sebagai calon pimpinan KPK sebagai pengabdiannya kepada negara ini atau cara mendekatkan dirinya pada Yang Maha Kuasa. Namun di balik itu juga bisa dimaknai adanya ketidakkonsistenan seorang OCK (dalam masalah umur).

OCK sendiri menyatakan bahwa tujuannya menjadi pimpinan KPK yakni ingin membenahi carut-marut internal KPK saat ini. KPK saat ini dianggapnya banyak melakukan pelanggaran hak asasi para tersangka, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan. OCK juga menduga bahwa pengadaan alat sadap digelembungkan harganya atau mark-up. “Tidak transparan dalam segala bidang, termasuk pengadaan alat-alat sadap, yang menurut informasi di-mark up, biaya operasional yang tidak transparan, dan tidak diperkenankannya BPK mengaudit KPK. Bahkan, OCK juga sudah bersiap-siap membongkar kasus korupsi Bibit-Chandra sebagaimana ditulisnya dalam buku setebal 698 halaman dengan judul “Korupsi Bibit dan Chandra”.

Persyaratan berikutnya yang diperkirakan bakal menghadangnya adalah syarat bahwa calon pimpinan KPK tidak pernah melakukan perbuatan tercela, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi. Menanggapi hal ini OCK menjawab dengan tegas bahwa dalam perjalanan karirnya, sudah banyak dia terlibat aktif memberantas korupsi (ada buku yang memuat tentang komitmen dan kiprahnya dalam melakukan pemberantasan korupsi). Misalnya, OCK pernah memasukkan seorang hakim yang bernama Hatta karena telah menerima suap Rp 60 juta untuk meringankan putusan. OCK juga pernah memasukkan jaksa, polisi, perwira tinggi TNI ke dalam penjara karena kasus korupsi. Bahkan tahun 1983, OCK pernah dibilang “gila” karena pernah membongkar kasus pada saat pengacara senior seperti Adnan Buyung Nasution atau Todung Mulya Lubis tidak berani untuk membongkar kasus tersebut (Rakyat Merdeka, 29 Mei 2010 hal. 3).

OCK mengaku bahwa menurut perhitungannya, selama menjadi pengacara, hanya sekitar lima persen saja dirinya berperan sebagai kuasa hukum koruptor. OCK berkilah bahwa tindakannya tersebut merupakan perintah undang-undang tentang peran dan kewajiban seorang pengacara. Bahkan ketika saat dimintai tanggapannya lagi soal track record-nya yang sering mendampingi kasus korupsi, OCK sempat menjawabnya dengan sewot. “Begini saja, kalau Anda tahu saya korupsi, silakan Anda laporkan. Tapi, kalau laporan Anda salah, Anda masuk penjara. Kalau laporan Anda benar, saya yang masuk. Tidak usah kita ngomong macam-macam, ” ujarnya.

Sah-sah saja memang ketika OCK mengatakan bahwa dirinya mempunyai track record yang baik dan berintegritas. Integritas bisa diartikan bahwa apa yang ada di hati dan yang kita ucapkan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan adalah sama. Integrity can be regarded as the opposite of hypocrisy. Lawan dari integrity adalah munafik. (wikipedia). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa perbuatan tercela adalah perbuatannya atau tindakannya tidak sesuai dng perkataannya. Jadi seseorang yang pernah melakukan perbuatan tercela bisa dikategorikan munafik atau orang yang tidak berintegritas.

Berbicara masalah integritas, menarik sekali apa yang dikatakan Hotman Paris Hutapea, di New York Times. Hotman Paris Hutapea adalah salah seorang advokat terkenal yang kebetulan juga pernah bekerja di O.C. Kaligis & Associates (kantor pengacara milik OCK). “If I say I’m a clean lawyer, I’ll be a hypocrite, that’s all I can say. And if other lawyers say they are clean, they will go to jail, they’ll go to hell.” (sumber). Di sini Hotman Paris percaya bahwa seorang advokat yang mengaku bersih dianggapnya sosok yang munafik. Advokat yang mengaku bersih layak masuk penjara, bahkan masuk neraka. Di atas telah dijelaskan bahwa munafik merupakan lawan kata integritas. Dengan kata lain, Hotman Paris berpendapat bahwa tidak ada advokat yang berintegritas. Apakah ini juga berlaku bagi OCK yang juga merupakan mantan mentornya?

Sulit memang mencari ukuran seseorang dikatakan mempunyai integritas atau tidak. Hanya dirinya dan Tuhan yang mengetahuinya secara pasti. Namun demikian masyarakat bisa menilainya berdasarkan track record yang dipunyainya selama ini. Begitu juga dengan OCK. Integritas adalah sesuatu yang invinsible. Sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), seseorang tidak bisa divonis bersalah atau dicap tidak berintegritas. Sedangkan sistem pembuktian di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) mensyaratkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim berdasarkan alat bukti tersebut. Kondisi ini menyebabkan penyidik dan penuntut umum harus mampu menghadirkan minimal dua alat bukti yang meyakinkan hakim sehingga seseorang bisa divonis bersalah melakukan kejahatan atau perbuatan tercela. Jadi sah-sah saja jika OCK percaya diri memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon ketua KPK karena sejauh ini dirinya belum pernah divonis bersalah atau terbukti melakukan perbuatan tercela.
Photobucket

Scale of Justice (Sumber: Googling)

Di samping persyaratan normatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 UU No. 30 Tahun 2002 di atas, selayaknya publik juga melihat sejarah berdirinya KPK. KPK dibentuk karena institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian terbukti gagal memberantas korupsi. Korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) tidak bisa diberantas dengan cara-cara konvensional seperti apa yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian. Oleh karena itu KPK banyak melakukan manuver-manuver luar biasa dalam memberantas korupsi, misalnya langsung menahan ketika seseorang menjadi tersangka, “menjebak” pelaku korupsi, menyadap alat komunikasi koruptor, berani melindungi penyuap atau penerima suap dalam rangka membongkar kejahatan yang lebih besar, menggeledah berbagai tempat yang dicurigai terdapat alat bukti atau barang bukti, dan seterusnya. Keberanian melakukan manuver-manuver inilah yang membuat KPK disegani dan merupakan institusi penegak hukum yang paling dipercaya di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya syarat tambahan calon pimpinan KPK, yaitu berani melakukan manuver atau cara-cara pemberantasan korupsi yang extra ordinary (luar biasa).

KPK juga dikenal tidak kompromi ketika berhadapan dengan koruptor. Siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi dan bisa dibuktikan atau diperoleh dua alat bukt yang sah, maka dia harus dibawa ke pengadilan tipikor. Sejarah mencatat bahwa tidak ada seorang pun yang mampu lolos dari jerat hukum kala KPK membawa koruptor maju di pengadilan tipikor atau 100% terdakwa di pengadilan tipikor divonis terbukti bersalah. Sejarah juga mencatat bahwa sudah banyak gubernur, bupati, mantan menteri atau kapolri, bahkan besan presiden sendiri yang berhasil dikirim KPK ke jeruji besi. Oleh karena itu, idealnya pimpinan KPK adalah orang-orang yang tidak banyak “hutang budi” kepada siapapun, sehingga dapat bertindak adil. OCK sudah banyak membela koruptor, berinteraksi dengan mereka, memperjuangkan kepentingan mereka, termasuk mendapatkan “fee” dari mereka. Oleh karena itu kiprahnya tersebut secara tidak sadar akan bisa mempengaruhinya untuk berjuang sesuai kepentingan kliennya atau dari sudut pandang koruptor.

Mencermati motivasi OCK yang menganggap cara-cara KPK melanggar hak asasi dan menginginkan KPK bertindak sesuai hukum acara pidana (KUHAP) yang sesuai dengan penafsirannya, maka secara tidak langsung OCK ingin agar KPK seperti kepolisian dan kejaksaan yang dianggap telah gagal memberantas korupsi (Lihat penjelasan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK). Oleh karena itu, dengan kehadiran OCK sebagai salah seorang kandidat pimpinan KPK, maka eksistensi KPK berada dalam bahaya. Agenda pemberantasan korupsi pun berada dalam titik balik. Wallahu ‘alam Bish-shawabi.

Referensi:
http://ockaligis.com/
http://koranbaru.com/inilah-tujuan-oc-kaligis-ingin-pimpin-kpk/
http://www.tribunnews.com/2010/05/27/oc-kaligis-bakal-terganjal-jadi-kpk-1
http://www.ocklaw.com/
http://www.nytimes.com/2010/04/24/world/asia/24hotman.html
http://detik.com
http://en.wikipedia.org/wiki/Integrity
Sumber lain hasil googling


Selengkapnya...

Selasa, 18 Mei 2010

Ada Apa dengan Pimpinan KPK?


Berita ditariknya 4 penyidik KPK menjadi Gadik (Tenaga Pendidik) di Secapa Sukabumi seolah tenggelam oleh riuh-rendah penangkapan dan penahanan Komjen Susno Duadji. Berita ini kembali mengingatkan kita akan peristiwa ditariknya Direktur Penyidikan dan Direktur Pengaduan Masyarakat dari KPK secara tiba-tiba dengan alasan rotasi atau dibutuhkan organisasi Polri. Seperti biasa, KPK selalu tergagap menghadapi peristiwa yang sering berulang ini. Bahkan sudah bisa dipastikan, KPK tidak siap alias tidak punya “contigency planning” ketika misalnya saja penyidik dari Polri dan Jaksa Penuntuk Umum dari Kejaksaan Agung ditarik semuanya dari KPK. Jika hal ini terjadi, maka sudah bisa dipastikan KPK akan lumpuh dan otomatis pemberantasan korupsi juga akan berjalan di tempat.
Sampai saat ini, Polri masih menganut sistem komando terpusat sebagai upaya untuk mempermudah koordinasi pasukan di berbagai tempat. Sistem administrasi (pembinaan) kepegawaian personil Polri di KPK masih menginduk pada Mabes Polri. Kasus ditariknya Direktur Penyidikan dan Direktur Pengaduan Masyarakat dari KPK beberapa waktu dan kasus ditariknya 4 penyidik KPK yang sedang melakukan penyidikan kasus Anggoro, kasus Mirandagate, dan kasus Anggodo, membuktikan bahwa Mabes Polri masih mengontrol secara penuh keberadaan personil Polri di KPK.
Setiap saat personil KPK yang berasal dari Polri bisa ditarik. Pertanyaannya adalah mungkinkah para penyidik KPK ini bisa bertindak independen dalam melaksanakan tugasnya di KPK ? Atau beranikah mereka bertindak secara profesional dan proporsional dalam menangani kasus ketika ada intervensi dari Mabes Polri atau dari atasannya atau dari seniornya ? Atau setidak-tidaknya,beranikah mereka menjaga kerahasiaan informasi dalam penanganan kasus ketika Mabes Polri meminta informasi tersebut ? Yang bisa menjawab secara pasti pertanyaan-pertanyaan ini adalah personil KPK yang berasal dari Polri itu sendiri. Publik hanya bisa berpikir logis bahwa dengan kondisi seperti di atas, maka Mabes Polri kemungkinan besar bisa melakukan intervensi secara tidak langsung ke KPK. Dengan demikian, berhasil-tidaknya KPK dalam menangani kasus, masih bisa dikontrol oleh Mabes Polri.
Sungguh menjadi hal yang mengherankan, peristiwa berulang ditariknya personil inti dari KPK selalu membikin “goncang” atau “oleng” kapal besar yang bernama KPK. Peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas, termasuk rencana penarikan 25 pegawai BPKP oleh Kepala BPKP, Komjen (purn) Didi Widayadi yang juga sempat membuat pimpinan KPK kelabakan, ternyata tidak membuat pimpinan KPK sebagai nahkoda kapal, sadar atau berusaha menyiapkan diri untuk menghadapi goncangan itu. Ada pendapat sebagian ahli hukum yang menyatakan bahwa sesuai KUHAP, KPK tidak berhak mengangkat penyidik sendiri. Inilah yang membuat pimpinan KPK selalu ragu-ragu untuk mengangkat penyidik secara independen. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis mencoba membedah kewenangan KPK dalam mengangkat pegawai KPK non Polri dan Jaksa menjadi penyidik.
Beberapa ketentuan dalam UU 30/2002 tentang KPK yang relevan dengan wacana mengangkat penyidik mandiri adalah sbb:1.Ps. 3 - “KPK adalah lembaga negara yg dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun“. Berdasarkan ketentuan ini, KPK merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh (tidak diatur atau dikontrol) oleh lembaga lain (eksekutif, yudikatif, legislatif) termasuk dalam pengangkatan pegawai & pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Penafsiran pasal 39 yang menyatakan bahwa penyidik KPK harus berasal dari Polisi dan Jaksa secara tidak langsung terbantahkan dengan argumentasi yang diuraikan di atas, dimana Polri bisa melakukan intervensi secara tidak langsung atas penyidik KPK yang berasal dari Polri. Intervensi tersebut membuat KPK menjadi tidak independen.
2. Ps. 21 ayat (1) - “KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:(a) Pimpinan,(b) Tim Penasehat,(c) Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.”
Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas (dari Pimpinan). Artinya pegawai KPK adalah perwujudan pimpinan (wakil pimpinan) dalam jumlah banyak untuk melaksankan tugas sesuai dengan kewenangan yang “sama” dengan pimpinan. Pasal 21 Ayat 4 menyatakan bahwa “Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum”. Sedangkan Ps. 29 huruf d. menyebutkan tentang persyaratan “untuk menjadi pimpinan KPK adalah berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yg memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan”. Keahlian dan pengalaman 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan menurut ketentuan ini tidaklah dapat dikumulatif dari empat bidang tersebut tetapi berdiri sendiri karena syarat ini bersifat fakultatif-disjunctive (atau). Jadi sebagai perwujudan dari pimpinan, pegawai KPK dengan latarbelakang sarjana hukum atau sarjana lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, dapat menjadi penyelidik, penyidik, atau penuntut umum. Jika untuk pimpinan KPK diperlukan pengalaman 15 tahun, maka menurut saya untuk pegawai yang diangkat menjadi penyidik minimal berpengalaman dalam bidang tugasnya 3-5 tahun.
3.Ps. 24 ayat (2) - “Pegawai KPK diangkat sbg pegawai karena keahliannya“.Korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebagian besar melibatkan transaksi keuangan, menggunakan teknologi canggih, memanfaatkan loop holes dari peraturan perundang-undangan yang ada, dst. Jadi pemberantasan korupsi dengan pendekatan parsial (hanya mengandalkan pada satu keahlian misalnya keahlian seorang Polisi) merupakan pendekatan konvensional yang telah terbukti gagal. Oleh karena itu diperlukan upaya luar biasa dengan cara menggabungkan berbagai keahlian pegawai yang ada di KPK untuk melakukan upaya-upaya progresif.
4. Ps. 39 ayat (1) - “Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2001, kecuali ditentukan lain dalam UU ini“. Ayat 1 menunjukkan bahwa UU ini merupakan lex specialis artinya hal-hal yang diatur dalam UU ini, namun juga diatur oleh UU lain, maka peraturan dalam UU lain menjadi tidak berlaku. Jadi, jika KUHAP mengatur bahwa penyelidik dan penyidik hanyalah dari Polri (plus penyidik PPNS), maka ketentuan tersebut menjadi tidak berlaku karena sudah diatur tersendiri tentang kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik secara independen.
5. Ps. 43, 45, 51 (1) - “Penyelidik/penyidik/penuntut umum adalah Penyelidik/penyidik/penuntut umum pada KPK yg diangkat dan diberhentikan oleh KPK”.Ini adalah pasal yang secara tegas dan jelas menyatakan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik secara independen.
Jadi jika secara kronologis kita ikuti pembahasan pasal demi pasal di atas, maka tidak ada alasan untuk tidak berani mengaplikasikan pasal-pasal ini yaitu setelah semua diputihkan/dibebastugaskan dari jabatannya di instansi asal dan diangkat menjadi pegawai KPK, maka KPK berwenang mengangkat pegawainya tersebut menjadi penyelidik, penyidik, penuntut umum dengan memperhatikan keahliannya.
Perbedaan pendapat atau penafsiran lain atas pasal-pasal di atas yang berbeda 180ยบ dari apa yg diuraikan di atas merupakan keniscayaan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian pimpinan KPK untuk mengangkat semua pegawai KPK yang memenuhi syarat menjadi penyidik, tidak peduli mereka berasal dari Polri, PNS, Swasta, Kejaksaan Agung, atau dari unsur masyarakat lainnya. Dengan demikian, KPK benar-benar tidak bisa diintervensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalaupun ada perbedaan pendapat, biarlah nanti hakim yang akan menguji sah tidaknya pengangkatan ini di pengadilan.
Berdasarkan uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi pimpinan KPK untuk tidak berani mengangkat pegawai selain dari Polri dan Kejaksaan Agung terutama yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diatur dalam UU untuk menjadi penyidik. Pertanyaannya adalah apa yang membuat pimpinan KPK seolah-olah membiarkan “dirinya” diintervensi pihak lain, “didikte” pihak lain, dan tidak berani menjadikan KPK sebagai lembaga independen? Ada apa dengan Pimpinan KPK?



Selengkapnya...

PKS: Bersih dan Peduli??


Membaca berita (lihat di sini) bahwa PKS akan menggelar munas di hotel mewah Ritz Carlton pada 16-20 Juni 2010, hati saya langsung bergetar. Bayangkan saja, jika Partai Golkar yang mengadakan Munas di Pekanbaru pada September 2009 yang lalu dengan total 1.200 peserta membutuhkan dana Rp 10 miliar (di sini), berapa biaya Munas PKS dengan total 2.700 peserta dengan lokasi Jakarta dan hotel internasional yang rata-rata tarif kamarnya itu berkisar 300-an dolar Amerika per malam? Sebagai simpatisan partai dakwah ini, saya langsung prihatin membaca berita tersebut. Apa yang sedang terjadi dengan partai dakwah ini?
Berita tentang ditahannya sahabatku, Muhammad Misbakhun, belum redup. “Pembelaan” PKS kepada Gubernur Sumatera Utara, Samsul Arifin, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus APBD Kabupaten Langkat juga belum sepenuhnya sirna. Sebelumnya mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, yang didukung PKS pada pencalonan Gubernur Sumsel periode 2009-2014, beritanya belum hilang. Publik juga belum hilang ingatan tentang polemik Nunun Nurbaeti terkait kasus suap ke anggota DPR (Nb. Nunun adalah istri Adang Darajatun, calon gubernur DKI Jakarta yang didukung PKS dan saat ini menjadi anggota legislatif dari PKS). Akhir 2009 yang lalu, mantan Presiden PKS, Tifatul Sembiring juga membuat sensasi yang akhirnya mendapat teguran presiden SBY. Dengan kondisi tersebut, apa yang sedang dicari partai dakwah ini, dengan sensasi Munas di hotel super mewah tersebut?
Sebelum membahas lebih lanjut, sebagai perbandingan atau inspirasi bagi PKS, kita lihat contoh kesederhanaan ala Jamaah Tabligh (JT) berikut ini.
Pada sekitar bulan Agustus 2008, Jamaah Tabligh (JT) menyenggarakan pertemuan para da'i Gerakan JT. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 50-ribuan orang dari dalam dan luar negeri ini diadakan di hutan ilalang, tepatnya di lahan perkebunan kelapa seluas 35 hektar, di dekat danau di Desa Cihuni, Kecamatan Pagedangan, di kawasan Serpong, Tangerang-Banten. Acara tersebut juga sempat dihadiri Wapres Jusuf Kalla dan beberapa pejabat tinggi lainnya. “Asas (acara ijtima ini) kesederhanaan saja,” ujar Ustadz Luthfi Yusuf, salah seorang dewan syuro gerakan dakwah Jamaah Tabligh Indonesia. Acara ijtima ini, lanjut Ustadz Luthfi, adalah untuk meneladani perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallaam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. “(Jadi) nggak perlu hotel. Ini kan semuanya sama, berbaur. Jadi mendekat dengan perjuangan Nabi SAW dan para sahabatnya r.hum,” tambah ustadz lulusan Mesir dan Pakistan yang juga pimpinan sebuah pondok pesantren di Bajarmasin, Kalimantan Selatan ini (lihat di sini).
PKS dengan motto bersih dan peduli adalah pemenang ke-4 dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu. Di tengah moncernya Partai Demokrat dan semakin tenggelamnya Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, dan PBB, PKS mampu mempertahankan perolehan suaranya. Bahkan boleh dibilang mampu memperbaiki posisinya, meskipun tidak seperti yang ditargetkan. Militansi kader dan simpatisannya membuat partai ini mampu “membiayai dirinya sendiri” dengan slogan “sunduquna juyubuna” (sumber dana kita berasal dari saku kita masing-masing). Kader dan simpatisan dari berbagai profesi dengan sukarela (ikhlas) menyumbangkan uang yang mereka punyai untuk kepentingan dakwah, meskipun secara umum, mereka bukanlah orang yang berlebih hartanya. Keikhlasan dari sebagian besar kader dan simpatisan inilah yang menjadi kunci keberhasilan PKS.
Munas PKS di Ritz Carlton dengan 2.700 peserta juga menggunakan konsep yang sama,”sunduquna juyubuna” alias urunan antar peserta musyawarah nasional tersebut, sebagaimana disampaikan Tifatul Sembiring (Lihat di sini). Sekretaris OC Munas, Yudi Widiana Adia mengatakan bahwa PKS mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk menyukseskan acara ini. "Dana ini dibebankan kepada anggota PKS yang menjadi anggota DPR dan DPRD," tambahnya (Lihat di sini). Benarkah Ritz Carlton adalah tempat termurah (alias mendapat diskon terbesar)? Apakah PKS tidak mencurigai dengan diskon besar tersebut mengingat hotel tersebut dimiliki Tan Kian (salah seorang konglomerat bermasalah dalam kasus Asabri) dan keidentikan hotel tersebut sebagai "simbol Barat" yang sering dijadikan sasaran terorisme? Inilah beberapa pertanyaan besar yang harus dijawab petinggi PKS.
Konsep “sunduquna juyubuna” alias "patungan antara sesama kader PKS" untuk membiayai munas bernilai miliaran rupiah ini berasal dari para kadernya yang menjadi anggota DPR dan DPRD. Dugaan saya, "urunan" atau "patungan" dana tersebut termasuk dari kadernya yang menjadi pejabat negara seperti misalnya ke-4 orang menteri kabinet dan para kepala daerah yang merupakan kader PKS atau minimal didukung PKS. Cukupkah gaji atau penghasilan mereka untuk membiayai Munas tersebut? Mari kita coba berhitung secara "kasar plus awam" terkait keuangan anggota DPR/DPRD.
Untuk anggota DPR pusat, dengan total penghasilan kurang lebih Rp 46 juta/ bulan, rata-rata uang yang bisa mereka kantongi adalah sebesar 50% dari penghasilannya. Hal ini terkait banyaknya potongan untuk sumbangan partai (biaya operasional partai) dan berbagai bentuk sumbangan-sumbangan kepada konstituen. Dengan penghasilan bersih yang bisa dibawa pulang sekitar Rp 23 juta, berdasarkan pengamatan saya, secara umum, penghasilan bersih tersebut digunakan oleh anggota DPR dari PKS tersebut untuk keperluan sebagai berikut:

  • cicilan mobil (sekitar Rp 5 juta per bulan selama 4 tahun),

  • cicilan rumah (sekitar Rp 4 juta per bulan selama 15 tahun), dan

  • berbagai cicilan lainnya kurang lebih Rp 1 juta per bulan.

  • keperluan rumah tangga (belanja, bayar sekolah, kesehatan, rekreasi, dll) rata-rata biaya yang dikeluarkan Rp 7 juta per bulan

  • operasional sehari-hari sebagai anggota DPR, rata-rata sebesar Rp 5 juta-an.
Total pengeluaran di atas sebesar Rp 22 juta per bulan. Jadi secara teoritis, sisa uang yang bisa dipakai untuk menyumbang Munas ini adalah Rp 1 juta per bulan. Jika dihitung sejak dilantik sebagai anggota DPR pada bulan Oktober 2009, maka selama 7 bulan, anggota DPR pusat tersebut bisa menyumbang sebesar Rp 7 juta per anggota. Total anggota DPR pusat dari fraksi PKS kira-kira bisa menyumbang Rp 399 juta (57 anggota x Rp 7 juta). Belum diketahui berapa jumlah anggota DPRD seluruh Indonesia dari PKS. Namun kemungkinan besar, sulit bagi mereka (anggota DPRD) yang mampu menyumbang biaya penyelenggaraan Munas ini karena untuk hadir ke Jakarta, mereka membutuhkan biaya transportasi dan akomodasi yang tidak kecil. Sedangkan dari anggota kabinet dan kepala daerah dari PKS dengan gaji/penghasilan lebih kecil dibanding anggota dewan, secara teoritis sulit sekali mereka bisa berperan besar menjadi donatur dalam Munas PKS ini yang ditaksir berjumlah puluhan miliar. Lalu darimana PKS menutup defisit biaya tersebut?
Konon dalam berbagai penyelenggaraan Munas yang diadakan partai politik, peran pengusaha atau pihak lain yang mempunyai kepentingan sangat besar. Merekalah donatur atau sponsor sebenarnya yang bisa menutup biaya untuk penyelenggaraan, transportasi, akomodasi, dan biaya asesoris lainnya. Sebagai donatur/sponsor, apakah pengusaha/pihak ketiga tersebut seikhlas kader/simpatisan PKS dan tidak mengharapkan suatu (keuntungan materi) apapun? Wallahu a'lam Bish-Shawabi. Semoga PKS tetap menjujung tinggi dan konsisten dengan slogan “bersih”. Amin
Demikian juga dengan slogan “peduli”; semoga PKS tidak melupakan jutaan rakyat yang kelaparan dan hidup di bawah garis kemiskinan sebagaimana digambarkan di bawah ini. Semoga nasib mereka yang akan dimusyawarahkan di Ritz Carlton pada tanggal 16-20 Juni 2010, bisa lebih baik. Amin.
Photobucket
Selengkapnya...