Search Engine

Kamis, 18 Maret 2010

Baby Policy

Manuver Partai Demokrat membentuk koalisi besar sempat menimbulkan harapan akan terjadinya single majority kekuatan politik di Indonesia. Dengan kekuatan mayoritas, SBY sebagai presiden bisa menjalankan kebijakannya lebih leluasa. Sebagai seorang prajurit, potensi SBY untuk bisa memerintah dengan tangan besi (otoriter) akan terbuka lebar. Karakter SBY yang jujur dan tidak „neko-neko” dan potensi terpendam untuk bisa menjadi strong leader dalam strategi pemberantasan korupsi, merupakan kesempatan emas untuk menjadikan Indonesia bebas korupsi. Sayang harapan itu menjadi kian menipis. Sejarah telah mencatat, SBY telah gagal membuat koalisi besar meskipun tetap dominan. SBY juga tidak bisa merangkul PDIP lebih erat lagi dengan terpilihnya KIB II. SBY gagal menunjukkan sebagai strong leader, terutama dalam kisruh cicak vs buaya. Seperti biasa, SBY hanya berusaha berjalan secara hati-hati.

Model strategi pemberantasan korupsi yang diungkap Jeremy Pope, Joseph T. Wells (bos dari Association of Certified Fraud Examiner), atau Syed Hussein Alatas sekalipun dianggap terlalu teoritis dan kurang membumi untuk diterapkan di Indonesia. Terobosan-terobosan hukum versi Prof. Satjipto Rahardjo juga sebatas wacana dan belum ada penegak hukum yang mencoba mengadopsi konsep hukum untuk manusia. KPK sempat menerbitkan harapan dengan melakukan 'penjebakan’ dan berani melindungi penyuap/ penerima suap plus konsep upaya penindakan seiring dengan upaya pencegahan. Namun seiring berjalannya waktu, strategi pemberantasan korupsi semakin suram. Kisruh antar penegak hukum menjadi puncak kacaunya strategi pemberantasan korupsi yang konon dipimpin secara langsung oleh presiden. Masih adakan harapan?

Baby Policy adalah strategi pemberantasan korupsi dengan model tangan besi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Strategi ini menuntut kepemimpinan yang kuat dari presiden plus keberanian untuk melakukan manuver hebat dalam pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui tindak pidana korupsi menurut United Nations Conventions against Corruption (UNCAC) yang sudah diadop Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC atau Konvensi PBB menentang korupsi, mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sebagai sebuah kejahatan luar biasa dan sudah dianggap membudaya di Indonesia diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang luar biasa pula. Baby Policy merupakan jawabannya.

Dengan Baby Policy, presiden melakukan upaya-upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Akar penyebab korupsi adalah kerjasama saling menguntungkan (simbiosme mutualisme) antara kekuatan pengusaha dan kekuasaan birokrat. Indonesia merupakan lahan tersubur tumbuhnya benih hasil persilangan kepentingan antara pengusaha dan birokrat. Benih itulah yang sekarang tumbuh menjadi pohon korupsi yang sangat besar, akarnya menancap dalam-dalam ke tubuh sistem birokrasi di Indonesia. Bahkan korupsi telah melanggar hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, bahkan berpotensi membawa bencana dalam kehidupan perekonomian nasional dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa langkah cepat dan tepat untuk mengamputasi pertumbuhan pohon korupsi tersebut, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa gagal.

Baby Policy tidak mengharuskan presiden memberantas korupsi ala petrus (penembak misterius) atau ala memberangus teroris atau misalnya dengan strategi pembuktian terbalik. Justru presiden harus mulai dari titik yang sama dengan pengusaha dan birokrat. Presiden harus bekerjasam dengan mereka. Pengusaha banyak yang mengeluh akan banyaknya biaya siluman yang harus dikeluarkan. Pengusaha-pengusaha tidak akan bisa bertahan lama mempertahankan usahanya akibat tidak ada kepastian hukum dalam berusaha dan berinvestasi. Mereka terpaksa menggunakan kekuatan uang (penyuapan) untuk bertahan hidup. Selama ini sebagian besar birokrat terpaksa melakukan pungli akibat rendahnya gaji mereka ditambah adanya kesempatan untuk melakukannya. KPK merupakan salah satu pilot project dalam reformasi birokrasi. Dengan gaji yang memadai dan sarana-prasarana mendukung, siapapun birokrat (Polisi, Jaksa atau PNS lainnya) yang masuk ke situ bisa bersikap profesional. Oleh karena itu, presiden harus menciptakan kepastian hukum bagi pengusaha dan kesejahteraan yang layak bagi birokrat. Inilah titik awal penerapan baby policy, yaitu semua pihak senang alias win-win solution. Setelah ada titik tolak yang sama, presiden bisa melanjutkan menerapkan strategi-strategi berikutnya. Lanjutkan!

Strategi pertama yang harus dilakukan presiden adalah kebijakan memutihkan tindak pidana korupsi di Indonesia. Siapa saja yang terlibat korupsi diampuni, dengan syarat mereka melaporkan semua harta kekayaannya kepada negara. Semua rakyat Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas UMR (Upah Minimum Regional) Tidak ada penyitaan atau nasionalisasi atas aset-aset yang dilaporkan tersebut. Semuanya benar-benar dari titik nol, ibarat bayi yang baru dilahirkan, tanpa dosa, tanpa noda, dan semua kekuatan diarahkan ke pembangunan di masa depan. Strategi pertama ini diperkirakan bisa dicapai dalam waktu 3 tahun dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tahun pertama, dilakukan berbagai persiapan sarana-prasarana untuk mendukung strategi tersebut. Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak usah terlalu mendetil dengan memberikan keleluasaan kepada presiden untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan. Criminal Justice System perlu dirombak total dengan sistem yang lebih sederhana dan membumi. KPK bisa diberdayakan untuk mengelola laporan harta kekayaan ini, Kepolisian lebih fokus pada penyelidikan/penyidikan tindak pidana umum, dan Kejaksaan sebagai satu-satunya penuntut umum di Indonesia;
2. Tahun kedua dilakukan sosialisasi atas strategi pertama tersebut;
3. Tahun ketiga pelaksanaan pemutihan dan pelaporan harta kekayaan.

Strategi kedua adalah strategi represive. Baby Policy telah tumbuh berkembang menjadi algojo yang siap mengeksekusi koruptor yang membandel. Laporan harta kekayaan menjadi titik awal pelaksanaan strategi represive. Untuk menimbulkan efek jera, investigator membidik sasaran-sasaran besar (big fishes). Sistem pembuktian negative yang mensyaratkan 2 alat bukti plus keyakinan hakim perlu dirombak total, misalnya dengan sistem juri sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat. Konsep alat bukti yang diatur oleh Pasal 184 KUHAP juga perlu direvisi untuk memudahkan pembuktian di pengadilan. Konsep alat bukti yang kuat, tidak perlu mutlak sebagaimana dicetuskan Jaksa Agung pada saat raker dengan Komisi III kemarin, menarik untuk diterapkan. Selama ini tindak pidana korupsi sulit dibuktikan karena memerlukan alat bukti yang bersifat mutlak. Dengan konsep sistem pembuktian yang lebih sederhana, diharapkan lebih banyak koruptor bisa diadili. Siapa saja yang melakukan korupsi pasca pemutihan, diberikan sanksi terberat tanpa ada diskriminasi. Bukan hanya terhadap pelaku, tetapi juga terhadap pihak-pihak yang turut menikmati hasil kejahatannya. Dengan demikian, kontrol sosial atas berbagai tindak pidana korupsi juga dilalukan oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Contoh, selama ini istri atau suami koruptor sebenarnya tahu apakah suami/istrinya melakukan korupsi atau tidak. Masyarakat sekitarnya juga banyak yang tahu, seseorang yang menjadi tetangganya merupakan koruptor atau tidak. Bahkan bankir sebenarnya juga tahu nasabahnya merupakan koruptor atau tidak. Oleh karena itu, sangat layak jika orang-orang yang menikmati hasil korupsi juga harus ditindak. Penindakan akan membuat masyarakat lebih aware terhadap gejala-gejala adanya tindak pidana korupsi. Penindakan dengan cara keras dan tegas akan bisa mempercepat kesadaran masyarakat untuk turut serta melakukan kontrol sosial terhadap koruptor.

Strategi ketiga adalah mencegah terulangnya tindak pidana korupsi. Di samping kontrol sosial oleh masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas, kontrol ketat oleh negara terhadap semua aktivitas yang berpotensi tejadinya tindak pidana korupsi perlu diterapkan. Penggunaan teknologi informasi untuk melakukan pemantauan, seperti alat intercept, CCTV, kontrol terhadap internet, dan lain-lain merupakan salah satu alat untuk mencegah dan mendeteksi terjadinya tindak pidana korupsi. Demi kemakmuran rakyat, konsep HAM sementara bisa dipinggirkan. Good governance dan berbagai sistem pencegahan korupsi yang sudah ada perlu diterapkan secara konsekuen. Konsep zero tolerance juga perlu diterapkan secara rigid. Namun yang lebih penting adalah adanya suri tauladan pimpinan.

Penerapan strategi-strategi diatas dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Presiden sebagai pemimpin tertinggi dalam pemberantasan korupsi harus benar-benar memanfaatkan kewenangan dan kesempatannya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi secara luar biasa. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar (95% dari umur angkatan kerja) berpendidikan di bawah sarjana plus kondisi korupsi sebagai extraordinary crime, membuat penggunaan tangan besi untuk memberantas korupsi adalah sebuah pilihan terbaik. Wallahua’lam bish-shawabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar