Search Engine

Jumat, 19 Maret 2010

Koruptor dan Pelacur Profesional

Korupsi di Indonesia sulit dibuktikan secara hukum. Sistem pembuktian negatif mengharuskan jaksa mengajukan 2 alat bukti ke pengadilan plus keyakinan hakim. Hanya para pelaku korupsi kelas amatir atau yang sedang kena sial saja yang bisa dikirim bersekolah di Lembaga Pemasyarakatan. Koruptor profesional biasanya melakukan aksinya dengan cara profesional, yaitu menggunakan modus operandi yang canggih dengan memanfaatkan loop holes dari peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kewenangannya, koruptor profesional yang bisanya merupakan pejabat tinggi akan dengan mudah mengumpulkan uang hasil korupsi. Meskipun demikian, koruptor profesional tidak bisa sewenang-wenang memamerkan harta hasil jerih-payahnya. Mereka hanya bisa menikmati di keramangan malam atau dilakukan secara diam-diam. Punya mobil mewah tidak bisa digunakan jalan-jalan sembarangan. Punya rumah mewah tidak bisa ditempati dengan leluasa. Punya istri cantik, yang non formal tentunya, tidak bisa dipamerkan ke kalayak. Punya uang banyak, tidak bisa dibelanjakan seenaknya. Prinsipnya koruptor profesional akan sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

Pelacuran merupakan salah satu penyakit masyarakat tertua di dunia. Pelacur amatir banyak kita temui di jalanan kota-kota besar atau di kompleks-kompleks pelacuran seperti Dolly, Saritem, atau Kramat Tunggak yang sudah musnah. Sedangkan pelacur profesional biasanya dikoordinir para perantara profesional, tidak punya tempat mangkal tetap, dan lebih mengandalkan handphone sebagai sarana berkomunikasi dan berkoordinasi. Mereka tidak sembarangan menerima order. Hanya orang-orang berduit yang biasanya mereka layani. Transaksi biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi di hotel-hotel bintang lima atau tempat-tempat ekslusif lainnya.

Persamaan dari koruptor profesional dan pelacur profesional adalah keduanya melakukan pekerjaannya secara sembunyi-sembunyi. Perbedaannya adalah koruptor punya uang banyak dan tidak ingin membelanjakan secara terang-terangan, sedangkan pelacur profesional menginginkan uang banyak dari hasil jerih payahnya. Disinilah bertemu kepentingan atau simbiosme mutualisme antara koruptor (sebagian besar laki-laki) dan pelacur profesional.

Menggunakan jasa pelacur profesional yang biasanya cantik, muda, wangi dan sederet nilai plus lainnya merupakan cara favorit koruptor profesional menghambur-hamburkan uangnya. Tarif pelacur profesional berkisar mulai Rp 5 juta s.d. Rp 50 juta sekali pakai. Pembayaran bisa dilakukan secara cash kepada perantara atau langsung ke pelacur. Kadang untuk mendatangkan pelacur kelas tinggi perlu komitmen fee yang ditransfer ke rekening tertentu dan sisanya dilunasi secara cash atau lewat transfer jika transaksi syahwat telah dilakukan. Biaya tersebut belum termasuk biaya kamar hotel bintang lima, biaya makan, dan biaya asesoris lainnya. Jika koruptor profesional puas dengan layanan pelacur profesional, maka mereka akan sering bertransaksi sendiri tanpa melibatkan perantara. Semakin puas dengan layanan pelacur profesional, koruptor tidak akan segan-segan mengeluarkan lebih banyak uang untuk membelikan/menyewakan apartemen, baju, perhiasan, dan tidak ketinggalan kendaraan. Tidak jarang, sang pelacur tersebut dijadikan istri simpanan dengan fasilitas plus-plus.

Tidak mudah memang menemukan transaksi-transaksi tersebut. Tidak jarang, untuk menutupinya, sang koruptor menyewa 2 kamar hotel yang bisa saling berhubungan. Pengelola hotel sebenarnya mengetahui transaksi tersebut. Apalagi para room boy, mereka biasanya mengetahui jejak-jejak bekas terjadinya ‘pertarungan’ di kamar hotel tersebut. Sebagai profesional, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Pihak kepolisian dan aparat berwenang lainnya juga tidak banyak melakukan tindakan. Mereka hanya berani melakukan penggerebekan di hotel-hotel kelas melati atau tempat-tempat mangkal para pelacur amatir. Itupun tidak akan sampai menjerat para koruptor amatir yang tertangkap basah bersama pelacur amatir. Apalagi masyarakat, mereka tidak punya akses, tidak punya wewenang, dan tidak punya waktu untuk itu. Kita hanya bisa berharap kepada para pemburu koruptor dan aparat berwenang lainnya untuk melakukan penggerebekan di saat koruptor profesional bertemu dengan pelacur profesional untuk mengaburkan atau menghilangkan uang hasil kejahatannya sambil memenuhi nafsu syahwatnya. Dengan demikian, akan semakin menyulitkan koruptor membelanjakan uangnya. dengan semakin sulitnya koruptor menggunakan uang hasil korupsi, kita berharap keinginan untuk melakukan korupsi juga semakin kecil. Ayo … lawan koruptor !!

Link: di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar