Search Engine

Jumat, 19 Maret 2010

SBY dalam Pemberantasan Korupsi

Salah satu faktor keberhasilan SBY dalam pilpres kemarin adalah komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Katakan “Tidak” pada korupsi menjadi salah satu ikon kampanye SBY. Pada periode sebelumnya SBY membuktikan bisa memimpin pemberantasan korupsi terutama lewat “dukungannya” ke KPK. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY mampu menjadi dirijen orkestra pemberantasan korupsi. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang membuat tim kampanye SBY dengan percaya diri membuat jargon “Lanjutkan”. Namun dari sisi lain, cibiran bahwa SBY gagal dalam pemberantasan korupsi juga banyak digaungkan. SBY dianggap mendompleng ketenaran KPK dan gagal dalam mereformasi Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Prestasi kepolisian dan kejaksaan, dalam pemberantasan korupsi, masih diragukan publik, meskipun kejaksaan cukup aktif mengkampanyekan keberhasilan-keberhasilannya dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan Polri lebih menonjol dalam pemberantasan terorisme. Banyak survei yang mencoba menilai tingkat kepercayaan publik pada aparat penegak hukum. Sebagian besar masih menempatkan kejaksaan agung dan kepolisian jauh di bawah prestasi KPK. Dengan demikian, ketika SBY mengklaim keberhasilannya dalam pemberantasan korupsi, berarti SBY menganggap bahwa keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi juga merupakan keberhasilan pemerintah. Lalu, bagaimana bentuk hubungan antara SBY dan KPK dalam pemberantasan korupsi, mengingat sifat KPK sebagai lembaga independen?

Publik tidak banyak tahu bagaimana hubungan SBY dan KPK sebenarnya. Meskipun bersifat independen, KPK tidak bisa lepas 100% dari pemerintah. Anggaran KPK berasal dari negara (APBN), fasilitas gedung dan infrastrukturnya milik negara, dan sebagian besar personil KPK berasal dari polisi/ PNS. Hal ini membuktikan bahwa KPK tidak bisa lepas dari pemerintah. Di samping itu, KPK juga diundang dalam koordinasi pemberantasan korupsi bersama-sama Kepolisian dan Kejaksaan yang dipimpin presiden. Hal ini semakin menunjukkan bahwa presiden mempunyai peran besar atas prestasi KPK selama ini.

Salah satu pernyataan SBY paling populer adalah bahwa SBY akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Reformasi birokrasi pada beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Keuangan, BPK, dan MA, merupakan pondasi dasar dalam pemberantasan (pencegahan) korupsi. Namun demikian prestasi besar SBY dalam pemberantasan korupsi terlihat pada sikapnya atas penetapan Aulia Pohan (besan presiden) sebagai tersangka. Pernyataan presiden bahwa meskipun sedih ketika besannya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, namun presiden kembali menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.

Menilai komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi pasca pilpres 2009 memang sangat menarik. SBY benar-benar diuji apakah masih memegang janji kampanyenya atau mempunyai agenda lain sehubungan dengan kemanangan mutlak pada pilpres dan pileg kemarin serta berbagai manuver Partai Demokrat yang membuat posisinya semakin dominan. Publik setidak-tidaknya bisa melihat dari lima peristiwa yang terjadi yaitu penyalahgunaan wewenang atau kriminalisasi penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK, proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor, keluarnya perppu No. 4 Tahun 2009, terpilihnya 3 Plt. Pimpinan KPK, dan terakhir adalah penyusunan KIB 2 (Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2).

Peristiwa pertama tentang polemik penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK terjadi pada awal september dan memuncak pada tgl 15 September 2009 saat Bibit Samad Riyanto (BSR) dan Chandra Hamzah (CH) ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi. Meskipun publik menekan SBY untuk melakukan ‘intervensi’, namun SBY menyatakan tidak mungkin mencampuri urusan teknis penyidikan. SBY sempat mempertemukan Polri dan KPK, namun SBY kembali mendapat poin plus ketika SBY menyatakan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Dari kacamata yuridis, tindakan Polri menjadikan BSR dan CH tersangka karena dianggap melanggar pasal 23 UU No 31/1999 jo pasa 20/2001 jo ps 421 KUHP atau pasal 12 e UU No 31/1999 jo pasal 20/2001 tentang Tipikor, dianggap masih dalam koridor kewenangannya. Oleh karena itu, sikap SBY yang tetap netral dalam hal ini merupakan tindakan yang tepat sebagai pencerminan janjinya dalam Pilpres dan Pileg yang lalu.

Peristiwa kedua timbul akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perlunya revisi pasal-pasal di UU 30/2002 tentang KPK yang menyangkut masalah pengadilan tipikor. Pada proses pembahasannya, DPR ‘didukung’ dengan pemerintah, tidak hanya membahas keberadaan pengadilan tipikor, namun juga membahas kewenangan KPK dalam penuntutan dan penyadapan yang bukan merupakan putusan MK. Publik dan tokoh-tokoh anti korupsi bereaksi sangat keras menentang pengkerdilan wewenang KPK. DPR menyatakan bahwa mereka hanya membahas usulan pemerintah, sedangkan pihak pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM tidak terlalu jelas sikapnya. Hanya 2 fraksi di DPR yang jelas menentang upaya pembonsaian kewenangan KPK dan publik hanya pasrah menunggu kata putus dalam rapat paripurna yang mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Publik begitu gembira mendengar pernyataan SBY untuk tetap mempertahankan kewenangan KPK. Arah angin dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang sebelumnya mengandung semangat memangkas kewenangan KPK, dengan pernyataan SBY tersebut, berbalik 180 derajat, sehingga ketika disetujui secara aklami dalam rapat parupurna DPR, RUU Pengadilan Tipikor disahkan menjadi UU tanpa “mengurangi kewenangan” KPK dalam penyadapan dan penuntutan. SBY kembali lagi mendapat simpati dari publik akan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.

Peristiwa ketiga yang merupakan rangkaian peristiwa pertama, sempat membuat publik juga meragukan komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi. Setidak-tidaknya ada 2 argumentasi yang sempat mencuat ke publik, yaitu terbitnya perppu yang dianggap tidak memiliki dasar hukum dan juga merupakan pembenaran presiden atas penetapan BSR dan CH sebagai tersangka. Dari berbagai permasalahan yang muncul ke publik, latar belakang SBY mengeluarkan perppu, terutama polemik mengenai definisi hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana amanat UUD ‘ 45 pasal 22 ayat (1), merupakan akar permasalahan yang banyak disorot publik. Sampai saat ini belum ada definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa. Untuk menutup lubang-lubang hukum yang mungkin ada, presiden sempat berkonsultasi dengan ketua Mahkamah Agung, Ketua MK, Ketua DPR, dan tentu saja para pembantu dekatnya yang ahli di bidang hukum (dari mulai Adnan Buyung Nasution dan Denny Indrayana sampai eks menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Di balik berbagai informasi yang banyak beredar di media massa, publik sebenarnya tidak banyak tahu, dasar pertimbangan utama presiden dalam menerbitkan perppu tersebut. Namun demikian, publik bisa melihat bahwa KPK hampir-hampir tidak bekerja dengan adanya polemik “cicak vs buaya” tersebut. Hampir tidak ada kasus-kasus yang menonjol di KPK. Personil KPK menjadi resah, kuatir, ragu-ragu, takut, dst dalam bermanuver untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang semakin hari semakin canggih modus operandinya. Siapa yang bisa menjamin bahwa nasib mereka tidak sama dengan BSR dan CH yang ditetapkan sebagai tersangka tatkala menjalankan wewenangnya. Jika boleh dikatakan, kondisi KPK menjadi vakum. Belum jelas kapan akan berakhir kondisi vakum tsb di KPK. Jika KPK vakum, dikuatirkan pemberantasan korupsi juga akan stagnan mengingat Kejaksaan dan Kepolisian dianggap gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi. Siklus pemberantasan korupsi kembali ke titik nol. Masa depan Indonesia yang cemerlang pun menjadi kabur. Melihat kondisi seperti inilah yang mungkin menjadi pertimbangan presiden untuk menerbitkan Perpu tsb. Jadi boleh dikatakan penerbitan perpu merupakan upaya penyelamatan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi. Sekali lagi SBY bisa membuktikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi.

Peristiwa keempat yang bisa dicermati adalah terpilihnya Tumpak H. Panggabean (THP), Waluyo, dan Mas Achmad Santosa menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK. Sebagian besar publik, termasuk aktivis dan tokoh anti korupsi yang menentang keluarnya perppu, menyambut baik terpilihnya 3 tokoh tersebut. Namun jika melihat komposisi 5 pimpinan KPK era THP sekarang, terlihat nuansa pencegahan korupsi sangat dominan. Melihat latar belakang dan track record dari 5 pimpinan tersebut, hanya THP yang berpengalaman dalam penindakan (pemberantasan korupsi). Sedangkan yang lainnya belum teruji dalam bidang penindakan. Jika mau jujur, THP pun dikenal sangat konservatif dalam pemberantasan korupsi. Di era ini kemungkinan tidak ada upaya-upaya hukum progresif (seperti misalnya “penjebakan” disertai penggeledahan secara cepat, yang pernah dilakukan KPK dalam menangani kasus KPU pada tahun 2005 di era Ruki (Taufikurrahman Ruki)). Kondisi ini sesuai dengan pernyataan SBY pada beberapa bulan sebelumnya yang mengkritisi manuver-manuver KPK dalam bidang penindakan dan secara tidak langsung “memerintahkan” KPK untuk lebih menekankan pada upaya pencegahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komposisi pimpinan KPK era THP ini sudah sesuai dengan selera SBY.

Peristiwa terakhir yang bisa menilai komitmen SBY dalam pemberantasan korupsi adalah terbentuknya KIB 2. Dari 34 menteri dan pejabat setingkat menteri, hanya ada 1 menteri yang terkait (tidak langsung) dengan pemberantasan korupsi, yaitu Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Ham. Sedangkan untuk posisi Kapolri dan Jaksa Agung belum ada pergantian. Melihat komposisi pasukan SBY dalam pemberantasan korupsi ini, tidak akan banyak gebrakan yang mampu menstimulus percepatan pemberantasan korupsi.

Berdasarkan analisa kelima peristiwa-peristiwa di atas, SBY tampaknya akan fokus pada upaya-upaya pemberantasan korupsi. Reformasi birokrasi yang menjadi pilar pencegahan korupsi akan dilanjutkan dalam 5 tahun ke depan. Upaya penindakan berupa penangkapan-penangkapan para koruptor tampaknya tidak akan banyak terjadi. Upaya pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, seperti dengan melakukan penjebakan, atau manuver-manuver canggih yang mampu mengendus modus operandi korupsi tingkat tinggi tampaknya hanya tinggal angan-angan. Pemberantasan korupsi memang maju ke depan, tapi kecepatannya tidak akan seperti yang diharapkan. Bagaimanapun SBY adalah ibarat pilot pesawat penumpang dalam pemberantasan korupsi, bukan pilot pesawat tempur.

Link: Di sini

1 komentar: