Search Engine

Sabtu, 20 Maret 2010

Sri Mulyani di Tengah Perang Intelijen

Setelah kasus Bibit-Chandra usai pada akhir bulan November 2009, publik kembali disuguhi berita tentang polemik Century. Sebagaimana kasus Bibit-Chandra, kasus Century diduga berlangsung paling lama 2-3 bulan. Kasus besar lainnya siap menenggelamkan kasus Century, yaitu evaluasi program 100 hari pemerintahan SBY Jilid 2. Oleh karena itu, pada bulan Februari 2009, kasus Century diduga akan mencapai klimaksnya.

Publik mengetahui bahwa sasaran besar (big fishes) kasus Century adalah SBY-Boediono-Sri Mulyani. Sri Mulyani dan Boediono yang merupakan ketua dan anggota KSSK dan KK dianggap paling bertanggungjawab terkait bailout Bank Century. SBY dianggap ikut bertanggungjawab karena kemungkinan besar mengetahui bahkan bisa jadi ikut memberikan arahan keputusan bailout Bank Century.

Diantara ketiga sasaran besar di atas, Sri Mulyani dianggap merupakan target paling empuk. Setidak-tidaknya ada 3 alasan yang mendasarinya, yaitu alasan teknis, taktis, dan strategis.

Secara teknis, sebagai ketua KSSK dan KK, Sri Mulyani berperan besar atas keputusan bailout Bank Century. Perdebatan teknis terkait penetapan Bank Century berdampak sistemik terus menghiasi headline media massa dalam sebulan terakhir. Pertanyaan besarnya kemudian adalah apakah keputusan KSSK/KK tersebut bisa dipidanakan (dikriminalisasikan)? Wakil ketua KPK, Bibit Samad Riyanto, menyatakan bahwa jika keputusan tersebut ada niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka keputusan bailout Century tersebut baru bisa dipidanakan.

Secara taktis, pertempuran (battle) lebih banyak membahas bagaimana pasukan di medan pertempuran bertempur dengan cara-cara tertentu untuk mencapai kemenangan militer. Membaca polemik Century, bisa kita lihat dengan kacamata strategi perang. Ical cs sebagai ketua umum Golkar mempunyai pasukan elit yang kuat dan jam terbang tinggi dalam perang (politik). Sedangkan Sri Mulyani? Dengan segala kelebihannya, dibandingkan dengan SBY dan Boediono, Sri Mulyani dianggap sasaran terlemah. Mengapa?

Pertama, Sri Mulyani tidak didukung kekuatan politik. SBY-Boediono adalah dwi tunggal dengan dukungan lebih dari 60% pemilih dan back up kuat dari Partai Demokrat dan Partai Koalisi. Sedangkan Sri Mulyani adalah profesional sejati yang sudah teruji kinerjanya dalam bidang ekonomi (makro), tetapi tidak punya jam terbang dalam percaturan politik.

Kedua, dengan segala kerendahan hati dan permohonan maaf, Sri Mulyani adalah seorang wanita. Secara umum, wanita kurang mampu memperhitungkan atau bahkan tak mau tahu dengan segala perhitungan yang mungkin akan terjadi padanya. Mereka tak mau tahu tentang logika yang menyeluruh dan terlalu banyak perhitungannya. Mereka sering menggunakan perasaannya daripada logikanya. Secara psikologis, wanita juga mudah ditekan dan dipengaruhi, terutama dengan menyentuh perasaannya. Selama ini, wanita sering dijadikan sasaran pertama sebuah investigasi. Sayangnya, teknik ini sering berhasil. Nah, apakah Sri Mulyani tergolong wanita biasa, sebagaimana uraian di atas?

Pancingan yang dilakukan Ical cs, dengan mengirim “pasukan pemancing“ yang bernama Bambang Soesatyo langsung dilawan dengan “kekuatan penuh“ pasukannya. Sri Mulyani terjebak oleh permainan strategi perang Ical cs. Pasukan pemancing memang bertugas memancing lawan untuk turun dengan kekuatan penuh dan masuk jebakan yang sudah disiapkan. Pasukan pemancing memang akan dengan gampang ditundukkan. Namun begitu masuk jebakan, biasanya dibelakang pasukan pemancing ada pasukan pemukul yang siap “memangsa” ikan yang sudah masuk perangkap. Selanjutnya pasukan pembersih akan memastikan bahwa tidak ada lawan (ikan) yang tersisa.

Bambang Soesatyo mampu memerankan sebagai pasukan pemancing profesional. Repotnya, Sri Mulyani terjebak dengan mengerahkan kekuatan penuh untuk menyerang pasukan pemancing. Pasukan pemukul pasti tersenyum melihat umpannya dimakan lawan. Jika mereka melihat bahwa kekuatan lawan bisa ditumpas, maka mereka akan bergerak menyerang. Namun jika ia memandang bahwa kekuatannya tidak bisa menandingi kekuatan lawan, mereka akan mencari strategi lain. Sun Tzu mengatakan,“Know your enemy, know yourself; your victory will never be endangered.

Sri Mulyani memang cemerlang, namun beliau masih amatir di dunia politik yang penuh intrik, penuh jebakan, penuh akal licik, dan berbagai strategi intelijen tingkat tinggi yang kurang dikuasai Sri Mulyani.

Ketiga, Sri Mulyani dikenal sangat pemberani dan punya pendirian kuat. Sri berani meminta pencabutan penghentian sementara (suspensi) perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008 meskipun harus berhadapan dengan Ical dan JK. Konon Sri Mulyani mengancam mengundurkan diri ketika “ditekan” presiden. Dalam kasus Century, Sri adalah kunci pembuka kotak pandora. Berhasil menundukkan Sri akan membuat posisinya sangat terjepit dan ada perasaan dikorbankan. Kondisi ini bisa mendorong Sri membuka kotak pandora Century. Ketika Sri Mulyani berhasil ditundukkan, maka diharapkan beliau akan bernyanyi dengan nyaring. Pertempuran (battle) Century akan berubah menjadi perang (war).

Secara strategis, kasus Century bisa dikatakan sebagai bagian dari perang (war) yang berujung pada 2014 (pemilu legislatif dan Pilpres). Inilah perang panjang antara kekuatan elit politik yang membutuhkan strategi cerdas dan matang. Perang yang melibatkan dua kekuatan besar politik di Indonesia. Golkar (didukung PDIP) versus Demokrat. Golkar jangan hanya memandang kekuatan Ical, tetapi perlu juga dilihat siapa saja orang-orang di belakang Ical. Merekalah yang sebenarnya memimpin perang intelijen dengan Demokrat di bawah kepemimpinan SBY.

Mao Zedong mengatakan,“Perang adalah kelanjutan dari politik. Dalam hal ini, perang adalah politik dan perang itu sendiri merupakan salah satu kegiatan politis; sejak jaman kuno tidak pernah ada perang yang tidak memiliki karakter politis.” Jadi manuver politik dalam kasus Century juga bisa dikatakan bagian dari sebuah peperangan.

Perang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan menggunakan perhitungan-perhitungan yang cermat dan rasional. Perang (war) berbeda dengan pertempuran (battle) apalagi sekedar perkelahian (fight). Dimensi Perang pun sangat luas. Waktu yang dibutuhkan bukanlah dalam hitungan hari atau bulan, tetapi bisa jadi dengan ukuran tahun atau bahkan generasi. Semua peperangan, khususnya yang berlangsung lama, memerlukan dukungan politik rakyat serta kesepakatan dimana dalam hal ini perang membawa nama rakyat. Dukungan politik rakyat inilah yang diharapkan mencapai klimaksnya pada 2014.

Sun Tzu memberikan titik berat pada intelijen, pengelabuhan, dan pendekatan tidak langsung kepada musuh sebagai cara yang paling efektif untuk memenangkan peperangan. “Semua peperangan didasarkan pada pengelabuhan (deception). Sesuatu yang harus dibangun untuk sebuah perang adalah sebuah intelijen yang sempurna, sehingga kita dapat membuat rencana dengan pasti……Jika kita tahu segala sesuatu tentang musuh kita maka kita akan menjadi lega. Kita harus bekerja lebih keras dalam pengolahan data daripada hal-hal yang lain.”.

Kasus Century benar-benar dimanfaatkan Golkar (plus PDIP) untuk memperoleh “amunisi“ dalam perang panjang menuju 2014. Meskipun masih malu-malu, partai-partai koalisi siap memanfaatkan momentum atau opportunity untuk memperoleh keuntungan. Tidak ada kawan yang abadi dalam dunia politik. Kekuatan politik akan berpihak pada siapapun yang akan menguntungkan mereka.

Sri Mulyani adalah tangan kanan SBY. Secara jangka panjang, dengan “menyerang“ dan “melukai“ Sri Mulyani sama artinya dengan melukai SBY. Jadi meskipun pada akhirnya nanti kasus Century tidak mampu melumpuhkan SBY- Boediono-Sri Mulyani, namun minimal mampu “melukai”. Luka inilah yang akan dijadikan amunisi pada 2014 nanti. Meskipun SBY tidak bisa terjun langsung dalam pemilu 2014, namun SBY tetap akan menjadi mesin penghasil suara rakyat.

Kemungkinan besar, setelah Kasus Century surut setelah 2-3 bulan, akan muncul “mainan“ baru yaitu momentum pelaksanaan program 100 hari SBY. Ganyang Mafia Hukum yang menjadi prioritas utama program 100 hari SBY akan menjadi sasaran paling empuk. Satgas Mafia Hukum yang belum jelas bentuk dan programnya akan sulit merealisasikan program Ganyang Mafia Hukum. Mafia Hukum yang telah menggurita dan mendarah daging, sulit diberantas dalam waktu singkat dan dengan cara-cara biasa. Perlu terobosan-terobosan hukum dan manuver-manuver luar biasa untuk menunjukkan kinerja maksimal dalam 100 hari. Minimal membuat efek kejut (Shock Therapy) yang bisa meyakinkan publik. Tanpa itu, Program Ganyang Mafia Hukum hanya akan menjadi bulan-bulanan kekuatan-kekuatan politik.

Di sisi lain, Demokrat dan SBY bukannya berdiam diri. Jika melihat manuver-manuver SBY dalam beberapa bulan terakhir, SBY sebenarnya sudah melakukannya dengan baik dan cerdas.

Sebagian besar publik menilai SBY tidak tegas, peragu, atau tidak cepat dalam mengambil keputusan. Banyak sekali contoh yang bisa diberikan, namun kasus “Double BC” (Bibit-Chandra dan Bank Century) menunjukkan hal tersebut. Inilah sisi kelemahan SBY.

Sisi kelemahan SBY tersebut justru bisa menjadi kekuatannya jika dilihat dari sisi sebaliknya. Di sinilah justru kecanggihan SBY dalam mengambil keputusan. SBY mampu menyelam-menyelam-dan menyelam lebih dalam, untuk kemudian muncul dengan membuat keputusan yang tepat. Kadang kala, SBY membuat pancingan-pancingan sehingga banyak pihak yang terpancing dan masuk dalam skenario SBY.

Peristiwa pertama adalah pemberantasan terorisme sesaat setelah pengeboman Hotel JW Marriot dan Ritz Charlton. Pengeboman kedua hotel tersebut terjadi menjelang pelantikan SBY dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2009-2014. Peristiwa tersebut dimanfaatkan SBY dengan baik dengan memberi peringatan kepada siapapun yang ingin mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.

Peristiwa kedua adalah RUU Pengadilan Tipikor. SBY tampaknya sengaja membiarkan Departemen Hukum dan HAM yang menjadi wakil pemerintah dan DPR sama-sama terkesan ingin memangkas kewenangan KPK. Protes yang cukup keras dari aktivis antikorupsi dan ekspose cukup besar terhadap upaya-upaya pengkerdilan peran KPK, membuat posisi DPR dan Pemerintah menjadi terdesak. Di saat genting, SBY menjadi hero ketika menyatakan dukungannya kepada KPK dan tidak setuju dengan upaya pengkerdilan KPK. Pada akhirnya UU Pengadilan Tipikor menjadi happy ending akibat manuver SBY yang cantik.

Peristiwa ketiga adalah Perpu Plt Pimpinan KPK. Pemberhentian sementara kepada 3 orang pimpinan KPK menimbulkan polemik hukum. Perdebatan masalah pengertian kolegial dalam pengambilan keputusan di KPK menjadi polemik tak berkesudahan. Secara tidak langsung, hal ini menyebabkan menurunnya spirit personil KPK, sehingga kinerjanya terlihat melambat (hampir tidak ada kasus yang muncul di permukaan pada periode tersebut). Kemudian SBY berani mengambil terobosan/ manuver dengan menerbitkan Perpu Plt. Pimpinan KPK. Meskipun menimbulkan perdebatan hukum dan politik, namun langkah SBY tersebut terbukti mampu mengatasi masalah dengan cemerlang.

Peristiwa keempat adalah kasus Bibit-Chandra. Ini merupakan salah satu masalah terberat di awal-awal pemerintahan SBY jilid II. Polemik ini menyita waktu 3 bulan dengan suhu politik yang sangat panas. Kekuatan publik muncul dan menguat dengan cepat, meskipun kekuatan politis tidak muncul. Facebooker bergerak sangat cepat mendukung Bibit-Chandra. Potensi “people power“ bisa muncul dalam kasus Bibit-Chandra ini jika dibiarkan terus menggelinding tanpa ada solusi yang tepat. Kembali, pada saat yang tepat, SBY mampu menyelesaikan kasus ini dengan baik. SBY kembali menjadi hero.

Peristiwa kelima adalah RPP Penyadapan. Peristiwa ini menyelinap masuk dibalik hiruk-pikuk kasus BC Jilid II. Peristiwa ini muncul sebagai upaya memecah konsentrasi publik dalam kasus BC Jilid II (Bank Century). Caci-maki publik dan aktivis antikorupsi atas langkah Tifatul Sembiring memunculkan kembali kecurigaan untuk memangkas kemampuan KPK yang sudah terbukti efektif dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kasus RUU Pengadilan Tipikor, kemungkinan besar RPP Penyadapan akan bernasib sama, yaitu pada saat yang tepat, SBY akan muncul menjadi hero. Dalam kasus ini, Tifatul Sembiring hanya boneka (korban) permainan politik (perang intelijen) seperti halnya Menhukham dan DPR pada periode sebelumnya.

Peristiwa keenam adalah kasus Bank Century. Kasus BC jilid II (Bank Century) ini bisa jadi lebih berbahaya dari kasus BC Jilid I (Bibit-Chandra) akibat belum sembuhnya luka publik atas “kriminalisasi“ Bibit-Chandra dan ditambah manuver politik yang luar biasa dari Parlemen. Jika pada kasus BC jilid I, SBY mampu mengukur kekuatan rakyat (publik), maka pada kasus BC Jilid II, SBY mencoba mengukur kekuatan politik. Kekuatan politik meskipun secara kuantitas lebih kecil (dibanding dengan rakyat), namun bisa jauh lebih berbahaya karena secara kualitatif mempunyai kekuatan riil untuk membuat headline dan mempengaruhi massa yang lebih besar. Meskipun kemungkinan Sri Mulyani dan Boediono menjadi korban dalam kasus ini sangat kecil, namun SBY telah memperhitungkan kemungkinan terburuk tersebut untuk “mengorbankan” mereka berdua, bila situasinya mengharuskan untuk itu (sebagaimana SBY berani “mengorbankan” besannya). Namun SBY juga melihat peluang untuk memperkuat posisinya dengan “mempermalukan“ politikus “kritis“ dan kekuatan partai politik yang mencoba peruntungannya dengan memanfaatkan kasus Century.

Manuver-manuver SBY di atas bisa berakibat fatal pada 2014 jika tidak diantisipasi oleh Golkar cs. Kasus Century merupakan peluang Golkar cs untuk balik “menyerang”. Perang Intelijen akan terus berlangsung. Orang-orang yang dikenal kredibel dan terpercaya seperti Sri Mulyani bisa menjadi korban di tengah perang Intelijen jika tidak mampu “bermain cantik”. Wallahu ‘alam Bish-Shawabi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar